Kembar Buncing
Di Bali ada sebuah adat yang unik bila ada penduduk desa melahirkan anak
kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut oleh
penduduk setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi
kembar buncing ini menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah
asalnya kesebuah rumah darurat diatas tanah Banjar Adat yang terletak
800 meter sebelum kuburan dikarenakan menurut kepercayaan setempat bila
yang bersangkutan menolak untuk dipindahkan maka semua penduduk desa
akan mendapat kutukan atau memada-mada dari Ratu.
Tidak itu saja, sang orang tua ini pun masih harus menjalani beberapa
prosesi adat lainnya demi membendung murka dari sang ratu. Lantas
prosesi seperti apa saja yang harus dilalui oleh orang tua sang bayi
kembar buncing ini sebelum akhirnya diperbolehkan kembali kerumah
miliknya. Kurang lebih inilah penjabaran singkatnya:
1. Kedua orang tua beserta bayinya diharuskan untuk keluar dari
rumahnya dan pindah ke rumah darurat yang berdiri di atas tanah Banjar
Adat yang letaknya tepat 800 Meter dari tanah pekuburan selama kurang
lebih 3 Bulan, atau sampai yang bersangkutan melihat 3 kali bulan
purnama.
2. Selama dalam pengungsian, kedua orang tua sang bayi serta sang
bayi sendiri tak diperbolehkan untuk melakukan perjalanan keluar desa.
3. Sehari menjelang berakhirnya pengungsian atau pengucilan ini sang
orang tua diwajibkan untuk melakukan upacara adat lainnya berupa upacara
Pecaruan di Jaba Pura Desa.
4. Dan sehari setelahnya sang orang tua bayi kembar buncing ini pun
diharuskan pula melakukan upacara melasti ke laut / segara yang diyakini
sebagai pelarungan segala kesialan. Pada upacara inilah si orang tua
bayi harus merogoh kocek yang lumayan dalam.
5. Dan sebagai ritual penutup terhitung sehari seusai melakukan
upacara melasti selama 3 hari si orang tua bayi beserta bayinya
bersembahyang di tiga Pura Desa yang mempunyai Balai Agung Pegat. Dan
seiring berakhirnya masa sembahyang di hari yang ketiga ini maka masa
pengasingan ini pun selesai dan yang bersangkutan diperbolehkan kembali
ke rumahnya atau melakukan perjalanan ke luar desa.
Dari penjabaran singkat di atas saja kita tahu bahwa adat ini begitu
memakan banyak waktu dan tentu juga biaya yang tak sedikit, makanya
sekarang di Bali sendiri adat ini sudah mulai ditinggalkan, terlebih
lagi dalam Awig-Awig Desa tak lagi ada bab yang mengatur tentang kembar
buncing ini, terlebih lagi melalui PERDA NO. 10 TAHUN 1951, pemerintah
Bali secara resmi telah menghapus adat ini. Jadi jika pada masa sekarang
masih ada penduduk desa di Bali yang tetap melaksanakan adat ini maka
semata-mata hanya untuk pelestarian budaya dan adat warisan leluhur dan
bukannya karena takut akan memada-mada dan sebagainya.
Salah satu desa yang masih tetap melaksanakan adat ini adalah desa
Padang Bulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Kasus terakhir
tentang kembar buncing ini dilaksanakan pada tahun 2004 oleh pasangan
suami istri bernama Nengah Tarsa (34 th) dengan Ketut Susun (29 TH) yang
melahirkan bayi kembar buncing. Dan karena ini semata-mata menjalankan
adat warisan budaya maka berbeda dengan dulu, adat ini pun mengalami
banyak pelenturan seperti meski dalam masa pengasingan, warga atau
tetangga tetap diperbolehkan untuk mendatangi dan bahkan setiap
hari/malam penduduk desa dengan suka rela turut menunggui mereka di
tempat pengungsiannya. Lebih dari itu baik untuk makan sehari-hari
selama di pengasingan maupun biaya upacara adat banyak dibantu oleh
penduduk hingga meskipun sedang menjalankan masa pengasingan yang
bersangkutan tidak merasa dikucilkan bahkan sebaliknya merasa disayangi.
Sabtu, 29 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar