Senin, 05 Desember 2011

Dua Budaya dalam Sepiring Pempek

Ada yang merasa yakin bakalan sakit kepala bila terpaksa tak makan pempek dalam seminggu. Ada juga yang vegetarian, tetapi tak mampu menahan godaan gurihnya pempek.

Dalam pempek, rasa gurih ikan berpadu dengan kuah cuko yang asam, manis, dan pedas. Sungguh lengkap rasa yang tercecap di lidah ketika menikmati makan yang kenyal-kenyal liat ini. Paduan rasa ini juga bagian dari cerita percampuran budaya di Palembang.

Di tanah Sriwijaya, pempek dengan mudah bisa ditemukan di mana pun. Kita bisa bertemu penjaja dari rumah ke rumah, warung kecil, hingga kedai bermerek yang terkenal. Bagi warga Palembang, pempek bahkan seolah termasuk makanan pokok. Tanpa pempek, hidup seolah belum lengkap.

"Sehari saja enggak makan pempek, rasanya seperti ada yang nagih, terutama rasa cuko-nya yang menyegarkan," kata Otong, pengemudi mobil sewaan yang asli Palembang, Sumatera Selatan.

Cuko yang dimaksud Otong adalah kuah pelengkap pempek yang terbuat dari cuka, gula merah, ebi, dan cabai yang memunculkan rasa manis, asam, dan pedas.

Bukan hanya Otong, Rudi yang berdagang pempek sejak 1980-an bahkan tetap tak pernah bosan menyantap makanan yang dalam bahasa Inggris disebut fish cake itu. Pemilik kedai Pempek Ek ini bisa menikmati pempek kapan saja. "Kalau bangun subuh sudah ada pempek hangat, saya bisa sarapan pempek lengkap dengan cuko-nya," kata Rudi.

Bahkan, lantaran sebegitu pentingnya rasa cuko, persaingan di antara penjual tak sebatas pada gurihnya rasa pempek. Mereka juga bersaing dalam menyajikan cuko dengan rasa manis, asam, dan pedas yang pas dan mantap. Beda penjual, kata Otong, beda pula rasa cuko buatan mereka.

Pempek Ek yang tergolong pempek legendaris di Palembang, misalnya, menyediakan cuko dalam pilihan rasa manis dan pedas di setiap meja yang ada di tokonya di Jalan Lingkaran I, Palembang. Rasa dari cuko inilah, yang dikatakan Rudi, menjadi selera orang Palembang.

Selain cuko pempek, pindang ikan patin yang juga masakan khas Palembang juga merepresentasikan selera khas Palembang yang didominasi paduan asam, pedas, dan manis itu.

Mirip bakso

Namun, pempek tak hanya mewakili selera kuliner khas Palembang. Adonan pempek yang terbuat dari tepung tapioka dan ikan mirip cara memasak bakso yang khas China.

"Di China, adonan dari bahan yang sama dengan pempek dibuat pipih, dikukus, lalu digoreng. Biasanya dipakai untuk campuran masakan. Baksonya ada yang dijual sebagai makanan kecil, ditusuk seperti sate, digoreng lalu dikasih sambal karena di sana tidak mengenal cuko," kata Rudi, yang nama kecilnya yaitu Ek, dipakai sebagai merek dagang pempeknya.

Darwis, Wakil Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Sumsel, menceritakan hal serupa. Darwis tak bisa memastikan kapan pempek mulai muncul di Palembang. Namun, kebiasaan orang China membuat bakso, dikatakan Darwis, dibawa oleh mereka yang datang ke Palembang.

"Ketika tiba di Sungai Musi, mereka melihat banyak ikan air tawar. Selain itu, Palembang juga kaya dengan ubi kayu yang menjadi bahan pembuatan tepung tapioka. Dua bahan inilah yang menghasilkan pempek," kata Darwis.

Namun, untuk mendapatkan ikan, terutama ikan belida, di Sungai Musi saat ini tidaklah mudah. Untuk mempertahankan rasa gurih dari ikan belida, Rudi mendatangkan ikan tersebut dari sungai di Banjarmasin, Medan, dan Pekanbaru.

Sejak memulai usaha pempek, melalui tangan ibu Rudi yang menjajakan pempeknya pada 1950-an, ikan belida selalu menjadi pilihan keluarga ini. Begitu pula ketika keluarga Rudi menjual pempek di depan rumah di daerah 10 Ulu hingga pindah ke daerah Ilir pada 1980-an. Karena terbatasnya persediaan ikan belida ini, tak heran Pempek Ek dijual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pempek di tempat lain.

Dagangan si "apek"

Cerita tentang pempek yang dibuat orang China di Palembang kemudian berkembang. Konon, nama pempek diambil dari panggilan para pembeli untuk penjual pempek. "Pembeli memanggil pedagangnya dengan sebutan 'apek'. Jadi, lama-lama muncul sebutan pempek," kata Ali Hanafiah, Kepala Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Kreativitas pembuat pempek membuat tepung tapioka dan ikan yang tadinya hanya berupa bakso di China berubah menjadi berbagai varian pempek. Selain pempek lenjer, yaitu berupa pempek polos yang bentuknya bulat panjang, ada beberapa jenis pempek yang diberi isian. Misalnya, pempek kapal selam yang diisi telur ayam atau telur bebek dan pistel yang diisi irisan pepaya muda dan ebi.

Ada pula yang variasinya tanpa cuko, yaitu tekwan. Kedua modifikasi bahan pempek yang direbus ini dinikmati dengan kuah bening yang mengandung kaldu udang.

Selain pempek, sepiring mi celor juga mengandung perpaduan budaya Palembang dan China. Pengamat kuliner William Wongso menjelaskan, mi yang dipakai untuk mi celor adalah jenis mi hokkien, yaitu mi yang bentuknya bulat kuning. Jenis mi hokkien antara lain digunakan juga pada mi aceh. Namun, bila mi aceh dimasak dengan kuah kental yang pedas sesuai selera aceh, mi celor dibuat dengan kuah kaldu udang galah.

Salah satu mi celor yang namanya populer di Palembang ada di Rumah Makan Mi Celor 26 Ilir HM Syafei. Mi berwarna kuning bersama taoge dan irisan telur rebus disiram kuah kental yang terasa gurih lalu ditaburi bawang goreng dan seledri. Otak udang satang, sebagai salah satu bahan, membuat kuah kentalnya berwarna agak merah muda.

"Kuahnya terbuat dari campuran kaldu udang dan santan. Jadi terasa gurih," kata Anibah, pemilik Rumah Makan Mi Celor 26 Ilir. Santan ini menjadi semacam variasi karena aslinya, seperti dikatakan William, kekentalan kuah bisa didapat dari kaldu udang galah.

Saat makan pempek, kita seperti sedang mengunyah sejarah Palembang.

0 komentar:

Posting Komentar